• Ekspektasi dan Mengelola Ekspektasi

    Konsep mengelola ekspektasi atau harapan pelanggan itu sudah lama dibicarakan dan sudah jadi topik wajib kalau bicara subjek kepuasan pelanggan. Mengelola ekspektasi ini memang hal yang menurut saya sangat menarik. Paling lumrah terjadi adalah over promise — kemudian harapan atau ekspektasi pelanggan menjadi sangat tinggi — selanjutnya terjadi under deliver dan pelanggan marah bukan kepalang.

    Skenario itu yang sebenarnya paling sering terjadi. Yang menarik sebenarnya adalah kadang ekspektasi tersebut muncul diluar kendali kita. Pengetahuan, rumor, pengalaman sebelumnya, semuanya berpengaruh pada penciptaan ekspektasi tersebut. Ada yang positif dan ada yang negatif.

    Contoh paling sederhana adalah penerbangan. Coba kita bandingkan saja 2 maskapai dengan market share raksasa di 2 segmen berbeda, Garuda Indonesia dan Lion Air alias JT.

    Segmen GA punya persyaratan yang tinggi, umumnya mereka sudah sering menggunakan jasa penerbangan, dan juga seringnya menggunakan GA karena standar dari GA. Mereka yang kerap menggunakan JT juga bukannya tidak pernah terbang, Lion Air bukanlah yang awalnya make them fly. Pengguna JT juga sebagian terpaksa karena rute tersebut tidak gemuk dan dengan adanya JT saja sudah menciptakan “monopoli karena market size terbatas”.

    Yang sangat menarik adalah jika GA on time tidak ada yang puas, tapi jika telat 30 menit saja rasanya maskapai tersebut sudah berbuat dosa besar pada umat manusia. Padahal apakah kita pernah membaca janji mereka bahwa mereka akan on time? Tidak. Dalam semua marketing materials mereka, tidak pernah mereka memberikan janji tersebut.

    Janji mereka “hanyalah” berupa jadwal. Dan jadwal sangat tergantung banyak faktor yang sayangnya tidak menarik bagi si pelanggan. Misalnya faktor cuaca, kepadatan bandara, jam operasional bandara, kepadatan trafik di udara, on time performance penyedia meal dan avtur dll.

    Bagi pelanggan GA, on time adalah basic requirement yang tidak perlu lagi ditanyakan.

    Sementara itu, bukannya saya menjelekkan perusahaan lain, tapi sudah informasi umum kalau Lion Air sering sekali terlambat. Perlahan, karena informasi dan berita tersebut, harapan pelanggan kepada JT sudah rendah. Bagi mereka, on time adalah berkah. Telat adalah biasa. Malah ada plesetan bahwa LION itu adalah Late is Our Nature.

    Kemarin, dalam perjalanan kembali dari Yogyakarta ke Jakarta bersama rombongan, istri memberi kabar saking terkejutnya: Lion On Time!

  • Ide itu Murah, Kawan!

    Ideas are cheap!

    Saya mendengar atau membaca kata-kata itu entah dari siapa. Saya mendengarnya sekitar setahun lalu. Sejak saat itu, saya makin sadar akan hal ini.

    Saya pernah bangga menjadi orang dengan banyak ide. Perlahan saya juga tahu ide saja tidak cukup. Ide itu murah. Murah karena “cuma ngomong”.
    Tapi lucunya memang banyak yang merasa hebat dengan ide saja. Yah mungkin ada porsinya. Memang ada orang yang memang “dibayar” dan diapresiasi karena ide. Kebetulan pekerjaan saya berlaku sebaliknya. Ide, wacana, konsep, cepat menjadi sampah jika tidak bisa direalisasikan.

    Tadi pagi dalam perjalanan, sambil mendengarkan Sore Tugu Pancoran-nya Iwan Fals, sempat baca di Kompas.com. Judulnya provokatif: DPRD: Ide Jokowi Hanya Kampung Deret, Selebihnya Bukan. Lengkapnya ada di sini ya.

    Menurut salah satu anggota DPRD ini,

    Selama setahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, hanya Kampung Deret yang murni berasal dari ide pemikiran Gubernur. Selebihnya, Jokowi hanya melanjutkan ide pemimpin sebelumnya.

    Menurut Igo, Kartu Jakarta Pintar (KJP) sama seperti beasiswa rawan putus sekolah pada era Fauzi Bowo. Adapun program Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak beda dengan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jaminan Kesehatan Daerah.

    “Pembebasan waduk, SK-nya dari zaman Sutiyoso. Yang desain Jakarta ke depan itu Sutiyoso, seperti busway, monorel, waterway, semua ada di bukunya Sutiyoso,”

    Itulah bedanya antara tahu antara apa yang mau dilakukan dan melakukan. Regional expansion, kata kata seksi dan terkesan brilian. Tanpa eksekusi dan realisasi, you get nothing. Itulah sebabnya dikatakan ideas are cheap. Lama kelamaan, dari pengalaman dengan orang disekitar kita, tim kita, kita akan makin bisa merasakan, sedemikian banyaknya ide dan sedemikian minimnya eksekusi.

    Kasihan juga anggota DPRD ini yang malah meminta tambahan ide. Menurut saya pribadi, yang diperlukan Jakarta bukan cuma ide tapi eksekusi.

    Igo berharap Jokowi dapat menghasilkan ide-ide brilian dalam memecahkan permasalahan yang lebih krusial di Ibu Kota, yaitu kemacetan dan banjir.

  • Jalan Jalan ke Tasikmalaya

    Kalau kemarin sudah ke Ciamis dan mengalami sedikit cultural shock, maka kali ini saya sudah memikirkan secara seksama langkah-langkah yang harus dilakukan. Saya dan Ike kemudian memutuskan untuk meninggalkan Ciamis 2 malam. Tinggal di Hotel Santika, yang merupakan the best in town. Kasihan juga dengan Ike yang selama 2 minggu tidak melihat peradaban. Apalagi Aiden, kalau di Bandung, setiap minggu selalu melihat keramaian di PVJ, kali ini hanya melihat 3 ekor kucing dan beberapa ekor ayam.

    2013-10-12 19.27.09

    Tasikmalaya bisa ditempuh hanya dalam 30 menit. Kota ini jauh lebih berkembang daripada Ciamis. Tidak jelas apa yang membuat Tasikmalaya lebih berkembang. Keduanya sama-sama ibukota Kabupaten, kalau tidak salah ya. Keduanya bukan berada di pesisir pantai dan keduanya sama-sama dilintasi jalur kereta api (saya akan cerita lagi pengalaman naik kereta api) plus Jalan Nasional. Jadi secara geografis seharusnya sih seimbang, tapi perkembangannya berbeda. Mungkin juga sih dari awal sudah beda.

    Di Tasik, yang bisa dilakukan lebih beragam, mulai dari wisata kuliner, arena bermain seperti waterpark, ada mal dan shopping center, dan cukup banyak international brands, misalnya McDonald’s, KFC, Pizza Hut, Breadtalk. Sekilas, miriplah dengan Pekanbaru.

    Untuk wisata, yang bisa dicoba adalah Situ Gede dan Gunung Galunggung. Keduanya mudah diakses. Gunung Galunggung dalam 30 menit dan Situ Gede dalam 10 menit.

    2013-10-13 09.18.51

    2013-10-13 09.23.59

    Di Situ Gede, aktivitas yang direkomendasi cuma 2, naik perahu keliling situ dan makan ikan bakar. Not bad.

    Gunung Galunggung mestinya lebih keren. Hanya saja, untuk mencapai viewing spot untuk kawah, harus menaiki anak tangga sebanyak 620. Berhubung yang dibawa adalah Aiden yang pastinya minta digendong (he is now 15-16 kgs), plus pregnant wife, rasanya ini misi yang bisa ditunda 🙂

    Look at the stair:
    2013-10-13 10.51.58

    Nah, paling seru soal kuliner. Ada beberapa yang bisa saya rekomendasikan. Yang pertama tentu saja adalah RM Saung Hegar Sari. Restoran dalam format saung ini makanannya menurut saya enak, ayam cabe hijau, sate maranggi, sup gurame, semua enak. Suasananya juga pas, adem, dan sangat enak buat makan rame-rame sambil ngobrol. Top lah tempat ini. Lokasi di Jalan BKR, setelah di BKR tanya saja ke siapa saja yang bisa ditemui.

    2013-10-14 13.03.04

    Rekomendasi kedua, ini selain lokasinya pas, yaitu persis di seberang Hotel Santika, juga karena sajiannya emang top. Namanya, Sop Ayam Pak Min Klaten / Pak Sipit. Sop ini benar-benar sedap. We had it like two days in a row 🙂 Saking sukanya. Sekalian sebenarnya mau cari yang mana Pak Sipit ini dan mau adu sipit. Sayangnya Pak Sipit ini ga pernah keliatan.

    Ada beberapa makanan yang sudah diuji juga. Mie Baso Gunung Pereng yang katanya kesohor. Rasanya sih biasa saja. I’m a noodle person. I know what I’m talking about. Their noodle is over-rated by some and tasted average. Cara masaknya masih tradisional, pakai arang! 🙂

    2013-10-13 12.47.30

    Kalau mau mencari makanan yang khas Tasik, jawabannya adalah Tutug Oncom alias TO. Nasi TO ini menurut saya sih enak. Pas baca-baca di blog lain, ternyata Nasi TO ini adalah makanan pas zaman susah. Berhubung tidak bisa beli lauk, akhirnya mereka cuma mencampur oncom dengan nasi, dan mereka tidak tahu kenapa tiba-tiba Nasi TO ini malah kemudian populer dan jadi ciri khas Tasik. Di Santika sih tiap sarapan selalu ada menu ini. I kinda like it.

    Overall, Tasik is liveable.

  • Cerita Dompet si Pedagang

    Ceritanya seorang pengemis menemukan sebuah dompet kulit yang tercecer di pasar. Ia membukanya dan menghitung bahwa dompet itu berisi 100 keping emas. Tiba-tiba ia mendengar teriakan seorang pedagang di pasar tersebut, “Hadiah! Hadiah! Saya akan memberikan hadiah ke siapapun yang menemukan dompet kulit saya!”

    Sebagai orang yang jujur​​, pengemis inipun menghampiri pedagang tersebut dan menyerahkan dompet, “Ini dompet Anda. Apakah saya kini berhak atas hadiah?”

    “Hadiah?” kata orang itu sambil menghitung emas dalam dompet. “Seharusnya ada 200 keping emas di dalam dompet ini. Kau sudah mengambil lebih besar dari hadiah yang rencananya akan saya berikan! Pergi atau aku akan lapor polisi!”

    “Saya orang yang jujur​​,” kata pengemis tersebut. “Mari kita selesaikan saja hal ini di pengadilan.”

    Di pengadilan, hakim sabar mendengarkan kedua sisi cerita dan berkata, “Baiklah, saya percaya pada kalian berdua. Kita bisa menegakkan Keadilan di kasus ini! Pedagang, Anda menyatakan bahwa dompet Anda hilang berisi 200 keping emas. Nah, itu nilai yang cukup besar. Tapi, dompet yang ditemukan oleh pengemis ini hanya berisi 100 keping emas. Oleh karena itu, ini bukanlah dompet kamu yang tercecer.”

    Kemudian hakim memberikan dompet dan semua isinya untuk si pengemis.

    Saya membaca cerita ini di blog Story Arts. Sungguh cerita yang menginspirasi. What yours is yours. Ini merupakan reminder bagi kita semua untuk jujur dan memegang janji kita sendiri. Semoga cerita ini bermanfaat bagi Anda. Share if you like.

  • Jangan Baca Kalau Mau ke Ciamis

    Tidak pernah terbersit dalam 29 tahun hidup saya, kalau saya akan menghabiskan beberapa malam di Ciamis. Mendengar namanya saja cuma akhir-akhir ini.

    Saya menghabiskan waktu 2 bulan di sana. Minggu dan Senin lalu. Terpaksa saya menggunakan kata bulan, karena di Ciamis, 1 hari itu memang seperti 30 hari. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Saya jadi percaya teori relativitas Einstein setelah berada di Ciamis. Itu sebabnya juga sih salah satu kegiatan ibu-ibu di desa seputaran Ciamis katanya adalah menyulam. Kegiatan apalagi yang bisa mengisi waktu yang panjang selain menyulam? Walaupun saya sedikit heran, karena di artikel yang saya baca, ibu ibu tersebut ngomong begini: “…dalam sehari paling banter dia hanya bisa menyelesaikan sulaman dua potong busana muslim. Itupun, kata dia, seandainya pengerjaannya tidak terganggu dengan kegiatan yang lain…”, ADA KEGIATAN LAIN APA?

    Kota ini teramat kecil. Catatan: tidak ada niatan sama sekali menghina kota kecil ini apalagi saya sendiri berasal dari satu kota kecil di tengah Sumatera, di mana listrik tidak selalu ada, dan semua orang menggali sumur sendiri untuk mendapatkan air. 🙂 Balik lagi soal Ciamis. Kota ini memang sangat kecil.

    Ada 2 jalan utama membentang: Jalan Sudirman dan Jalan Juanda, kalau tidak salah. That’s it. I told you. Kota kecil. Ujung jalan ini adalah Alun Alun Kota, atau dikenal juga dengan Taman Raflesia. Buat mereka yang suka jalan-jalan di Eropa, ini seperti nostalgia. Ini seperti Plaza atau Piazza. Semua orang berkumpul di sini! Beneran, pada sore hari itu, sepertinya semua penduduk Ciamis keluar dan berkumpul di alun-alun ini.

    Saya bahkan terpikir bahwa kebagian tugas sensus penduduk di Ciamis paling gampang. Sore-sore ke alun-alun saja, hitungin jumlah orang, kemudian tungguin di pinggir jalan dan hitung jumlah motor mobil yang lewat. That’s it.

    Kalau mau berbelanja, di sini cuma ada beberapa pilihan. Ada CiMall, yak Mall! Ciamis Mall. Isinya cuma GIant dan bbrp toko kecil lain (<10), dan ajaibnya sore itu saya, Ike, dan Aiden tiba jam 17.40. Begitu masuk langsung muncul pengumuman kalo akan tutup jam 18.00, harap segera ke kasir (-.-“)

    Tempat belanja paling beradab adalah Yogya. Ini adalah timezone. Masuk ke Yogya ini, kita seperti masuk ke abad 21. Begitu keluar, kita kembali mampir ke tahun 1981. Yak, seperti terlahir kembali agaknya.

    Saya ngga cocok sama sekali tinggal di Ciamis. Ambisi, energi, semangat hidup tersedot oleh monumen raflesia raksasa di alun-alun. Monumen setinggi 3 meter ini hanya pada waktu tertentu menghibur lewat air mancurnya. Dari atas monumen ini, kita mungkin bisa melihat satu Ciamis. Note: tidak bisa dipanjat karena sudah dipagar. Saya yakin dulu ada yang pernah mencoba melihat satu Ciamis dari sini.

    Satu-satunya high point Ciamis adalah saya bisa melihat Aiden ceria dengan Delman Domba 🙂

    Screen Shot 2013-09-25 at 8.32.25 PM

     

    Ciamis ini cuma cocok untuk beberapa orang:

    1. Mereka yang ingin merasakan kesunyian dan bertapa. Karena Bali is too mainstream.
    2. Mereka yang ingin memikirkan kembali arti hidup mereka sejauh ini.
    3. Mereka yang tinggal di hutan dan ingin sedikit mencicipi peradaban.
    4. Mereka yang memang aslinya dari Ciamis.
    5. Mereka yang karena tuntutan tugas berbakti pada nusa dan bangsa harus ditempatkan di sini.

    Ini adalah review jujur atas Kota Ciamis ini. Mudah-mudahan kota ini bisa berkembang nantinya. Tapi, saat ini saya sedang memikirkan apa yang akan saya lakukan minggu depan saat kembali ke Ciamis Manis.