• The Croods, Plato’s Cave, and Your Own Cave

    Guy: I can’t believe your family has never seen rain!
    Eep: We don’t get out much.

    Sudah lama dengar tentang The Croods, tapi baru libur Lebaran ini nonton. Menurut saya, ini adalah salah satu film animasi bagus. Selain cerita dan pesannya bagus (kalau mau melihat metafora yang dipakai), juga adegan-adegan lucu, dan tentunya kualitas animasinya. Saya tidak ingat apakah film ini pernah diputar di bioskop di Indonesia atau tidak.

    Pengisi suara The Croods tidak sembarangan: Nicholas Cage, Emma Stone, Ryan Reynolds. Ini pertama kalinya bagi Cage, Stone, dan Reynolds untuk jadi pengisi suara di animasi. Salah satu quote yang paling menarik yang saya dengar di The Croods adalah saat Eep (putri dari Grug) marah ke Grug yang merasa sudah berhasil membuat mereka bertahan hidup. “That was not living. That’s just not dying!”, saat Grug meminta mereka semua masuk ke gua karena adanya ancaman baru. Herannya quote ini tidak ada di IMDB.

    The Croods

    Okay, silakan baca trivia dan quote di sini. Gara-gara baca trivia pertama bahwa film ini punya banyak kesamaan dengan salah satu karya Plato – The Allegory of The Cave, jadinya malah sekarang lagi coba bacain apa sih isi The Allegory of The Cave. Postingan kali ini tidak akan banyak membahas konten The Croods, tapi tentang The Cave-nya Plato. Tulisannya sebenarnya pendek: baca disini. 

    Tapi, ternyata memahaminya tidak gampang. Terlebih kontennya adalah tentang bagaimana manusia cenderung untuk memahami pada apa yang kita lihat dan dengar di dunia – bukti empiris. Dalam cerita tersebut, the cave alias gua menunjukkan bahwa orang yang percaya pengetahuan empiris terjebak dalam ‘gua’ kesalahpahaman.

    Ringkasnya, cerita The Cave-nya Plato bercerita tentang sekelompok orang yang ditahan dari lahir di dalam sebuah gua. Leher dan kepala mereka dikunci sedemikian rupa sehingga hanya bisa melihat ke satu tembok. Di sana, mereka hanya bisa melihat bayangan dari objek yang ada di luar gua atau yang sengaja diproyeksikan ke satu-satunya tembok yang bisa mereka lihat. Seumur hidup, mereka hanya melihat bayangan tersebut dan tidak pernah melihat benda asli. Akhirnya, mereka membayangkan dunia hanyalah bayangan-bayangan tersebut.

    Nah, bayangan ini mewakili persepsi dari mereka yang percaya bahwa bukti empiris adalah bukti dari sebuah pengetahuan. Jika Anda yakin bahwa apa yang Anda lihat harus diambil sebagai kebenaran, maka Anda hanya melihat bayangan kebenaran. Berat ya? 🙂

    Diceritakan lebih lanjut, salah seorang tahanan ini kemudian lolos dan meninggalkan gua. Dia terkejut pada dunia di luar gua dan tidak percaya bahwa apa yang dia lihat adalah nyata. Setelah sekian lama, ia menjadi terbiasa dengan lingkungan barunya, ia menyadari bahwa pandangannya selama di gua tentang realitas adalah salah.

    The Croods memang menggunakan gua sebagai gambaran bagaimana keluarga Grug Croods ini merasa bahwa paling aman di gua dan memilih tidak ke mana-mana karena khawatir akan dunia di luar gua. Bukankah kadang kita juga demikian? Kita juga tinggal di gua kita masing-masing. Apa yang kita lihat sebagai kebenaran adalah sama dengan apa yang diproyeksikan kepada kita.

    Mungkin sudah waktunya kita seperti Eep yang ngotot untuk mencari tempat bernama Tomorrow.

    Thunk: Where did she fly?
    Guy: Tomorrow.
    Eep: Tomorrow?
    Guy: A place with more suns in the sky than you can count.
    Thunk: It would be so bright!
    Guy: A place not like today, or yesterday. A place where things are better.
    Grug: Tomorrow isn’t a place. It’s-it’s-it… Ugh! You can’t see it!
    Guy: Oh, yes, yes it is. I’ve seen it. That’s where I’m going.

  • Dua Pedagang Pembohong

    Kata orang-orang, paling mudah mengajarkan suatu lesson itu kalau kita bisa mengemasnya dalam bentuk cerita, alias story telling. Ada benarnya. Biasanya ada ceramah itu paling bosan kalau tidak ada cerita menarik. Dulu pernah ada yang cerita, tentang tidak ada untungnya membohongi pelanggan. Waktu itu sampai ada 2 cerita. Cerita ini mungkin sudah saya dengar 10 tahun lalu, tapi masih nempel di kepala.

    Cerita pertama tentang satu orang pedagang ayam. Hari sudah sore, tapi ayam yang sisa seekor ini kok ngga laku-laku. Tiba-tiba datang seorang ibu menanyakan ayam, si pedagang ini senang bukan kepalang.
    “Bang, ayamnya donk. Bagus ga?”
    “Ooo, bagus sekali ini, Bu, coba lihat gemuk kan?”
    “Wah, ada yang lain ngga?”
    “Ada!”, sambil memasukkan kembali ayam ke keranjang yang tertutup, kemudian mengeluarkan ayam yang sama.
    “Ini, Bu, lebih gemuk sih kalau yang ini.”
    “Iya, kalau gitu, saya ambil dua-duanya ya, Bang.”

    Cerita kedua tidak kalah telak, ceritanya si pedagang spesialis ikan bawal lagi sepi. Es batu untuk menjaga kesegaran ikannya juga sudah hampir mencair semua. Kemudian datanglah seorang ibu, “Ini ikan gurami bukan, Bang?”. Tanya si ibu yang sepertinya jarang ke pasar.
    Si abang senang juga ditanyain calon pembeli, “Iya, Bu, ini gurami, segar semua!”.
    Si ibu kemudian berkata, “Yahhh, saya lagi cari bawal…”

    See? Mudah-mudahan 2 cerita ini nempel di kepala Anda juga, the lesson is do not trick your customers. Never.

  • The Great Street Sweeper

    What I’m saying to you this morning, my friends: Even if it falls your lot to be a street sweeper, go out and sweep streets like Michelangelo painted pictures! Sweep streets like Handel and Beethoven composed music. Sweep streets like Shakespeare wrote poetry. Sweep streets so well that all the host of heaven and earth will have to pause and say, “Here lived a great street sweeper who swept his job well!”

    Saya selalu ingat quote Martin Luther King yang ini. Dari sekian banyak pidato dan quotable speech-nya MLK, ini yang paling berbekas dan berkesan. Saya selalu tidak paham jika ada yang bisa menjadi medioker, apa adanya.
    I mean, jika kita melakukan sesuatu, lakukan yang terbaik. Bisa saja sih melakukan hanya apa-adanya, pasrah pada batasan keadaan, pasrah pada situasi. But, is that your class?

    Saya sering menemukan dimana sebagian orang nyaman-nyaman saja dengan menyelesaikan pekerjaan yang setengah-setengah, yang bukan world class, bahkan kadang bukan at his own class. Why? Why would someone do that?

    Be the best at what you do ini tidak ada kaitannya dengan passion. Jika Anda memang sudah harus melakukan 1 hal, lakukanlah yang terbaik. Jika ini memang bukan passion Anda, dan Anda tahu ini bisa menjadi alasan Anda untuk tidak deliver the very best, don’t start doing it. Tidak ada orang yang passionnya adalah membersihkan lantai, sehingga cita-citanya menjadi street sweeper. But when you have to become a street sweeper, do the very best.

    Tidak selalu kita cukup hanya melakukan apa yang kita sukai dan apa yang jadi passion kita.

    You can’t take your child to good school, if you can’t afford the tuition fee. And I don’t see in any time soon that you can go to the school and tell’em that you have found your passion in this and that, and hope your kids are accepted and granted to study without the need of paying the tuition fee you can’t afford.

    So, sometimes yes you have to do something that is not your passion, or in some cases you even hate what you are doing. But you have to. And when you have to, do the best. Deliver the best. And then you can answer one of my client funny question: “where’s the wow?”

  • Protected: Petunjuk Menuju Rumah

    This content is password protected. To view it please enter your password below: