Common Sense, Nonsense, and Everything in Between

Jangan Baca Kalau Mau ke Ciamis

Tidak pernah terbersit dalam 29 tahun hidup saya, kalau saya akan menghabiskan beberapa malam di Ciamis. Mendengar namanya saja cuma akhir-akhir ini.

Saya menghabiskan waktu 2 bulan di sana. Minggu dan Senin lalu. Terpaksa saya menggunakan kata bulan, karena di Ciamis, 1 hari itu memang seperti 30 hari. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Saya jadi percaya teori relativitas Einstein setelah berada di Ciamis. Itu sebabnya juga sih salah satu kegiatan ibu-ibu di desa seputaran Ciamis katanya adalah menyulam. Kegiatan apalagi yang bisa mengisi waktu yang panjang selain menyulam? Walaupun saya sedikit heran, karena di artikel yang saya baca, ibu ibu tersebut ngomong begini: “…dalam sehari paling banter dia hanya bisa menyelesaikan sulaman dua potong busana muslim. Itupun, kata dia, seandainya pengerjaannya tidak terganggu dengan kegiatan yang lain…”, ADA KEGIATAN LAIN APA?

Kota ini teramat kecil. Catatan: tidak ada niatan sama sekali menghina kota kecil ini apalagi saya sendiri berasal dari satu kota kecil di tengah Sumatera, di mana listrik tidak selalu ada, dan semua orang menggali sumur sendiri untuk mendapatkan air. 🙂 Balik lagi soal Ciamis. Kota ini memang sangat kecil.

Ada 2 jalan utama membentang: Jalan Sudirman dan Jalan Juanda, kalau tidak salah. That’s it. I told you. Kota kecil. Ujung jalan ini adalah Alun Alun Kota, atau dikenal juga dengan Taman Raflesia. Buat mereka yang suka jalan-jalan di Eropa, ini seperti nostalgia. Ini seperti Plaza atau Piazza. Semua orang berkumpul di sini! Beneran, pada sore hari itu, sepertinya semua penduduk Ciamis keluar dan berkumpul di alun-alun ini.

Saya bahkan terpikir bahwa kebagian tugas sensus penduduk di Ciamis paling gampang. Sore-sore ke alun-alun saja, hitungin jumlah orang, kemudian tungguin di pinggir jalan dan hitung jumlah motor mobil yang lewat. That’s it.

Kalau mau berbelanja, di sini cuma ada beberapa pilihan. Ada CiMall, yak Mall! Ciamis Mall. Isinya cuma GIant dan bbrp toko kecil lain (<10), dan ajaibnya sore itu saya, Ike, dan Aiden tiba jam 17.40. Begitu masuk langsung muncul pengumuman kalo akan tutup jam 18.00, harap segera ke kasir (-.-“)

Tempat belanja paling beradab adalah Yogya. Ini adalah timezone. Masuk ke Yogya ini, kita seperti masuk ke abad 21. Begitu keluar, kita kembali mampir ke tahun 1981. Yak, seperti terlahir kembali agaknya.

Saya ngga cocok sama sekali tinggal di Ciamis. Ambisi, energi, semangat hidup tersedot oleh monumen raflesia raksasa di alun-alun. Monumen setinggi 3 meter ini hanya pada waktu tertentu menghibur lewat air mancurnya. Dari atas monumen ini, kita mungkin bisa melihat satu Ciamis. Note: tidak bisa dipanjat karena sudah dipagar. Saya yakin dulu ada yang pernah mencoba melihat satu Ciamis dari sini.

Satu-satunya high point Ciamis adalah saya bisa melihat Aiden ceria dengan Delman Domba 🙂

Screen Shot 2013-09-25 at 8.32.25 PM

 

Ciamis ini cuma cocok untuk beberapa orang:

  1. Mereka yang ingin merasakan kesunyian dan bertapa. Karena Bali is too mainstream.
  2. Mereka yang ingin memikirkan kembali arti hidup mereka sejauh ini.
  3. Mereka yang tinggal di hutan dan ingin sedikit mencicipi peradaban.
  4. Mereka yang memang aslinya dari Ciamis.
  5. Mereka yang karena tuntutan tugas berbakti pada nusa dan bangsa harus ditempatkan di sini.

Ini adalah review jujur atas Kota Ciamis ini. Mudah-mudahan kota ini bisa berkembang nantinya. Tapi, saat ini saya sedang memikirkan apa yang akan saya lakukan minggu depan saat kembali ke Ciamis Manis.

Common Sense, Nonsense, and Everything in Between