Common Sense, Nonsense, and Everything in Between

Ajahn Brahm dan Cerita Dua Batu Bata

Entah kenapa beberapa hari ini kepikiran terus dengan cerita dua batu batanya Ajahn Brahm. Suatu saat, Ajahn Brahm dan teman-temannya harus membangun vihara. Karena mereka tidak memiliki uang, maka mereka harus mengerjakan semuanya sendiri, tanpa tukang-tukang yang handal.

Dari cerita di buku tersebut, diceritakan bagaimana mereka memikirkan bahwa membuat tembok dengan batu bata adalah sangat mudah: tinggal tuangkan seonggok semen, ketok sana, ketok sini, dan voila jadilah 1 tembok. Ketika mereka mulai memasang, ternyata tidak segampang itu. Membangun tembok yang rata dan mulus bukanlah hal mudah.

Namun, sebagai Bhikkhu, mereka memiliki kesabaran dan waktu. Mereka bekerja keras memastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya selesai juga tembok batu bata pertama. Setelah itu, saat Ajahn sedang mengagumi karyanya, ia menemukan bahwa ia telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua bata tersebut tampat miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Ia sungguh kecewa.

Semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi ia bertanya kepada kepala vihara apakah ia boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru. Ia telah membuat kesalahan dan ia menjadi kecewa. Kepala vihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.

Nah, bagian menariknya adalah ketika ia membawa para tamu pertama berkunjung keliling vihara setengah jadi tersebut, ia selalu menghindari membawa mereka melewati tembok bata tidak sempurna yang ia buat. Suatu hari, ia berjalan dengan seorang pengunjung dan pengunjung tersebut melihat tembok tersebut.

“Itu sebuah tembok yang indah”, ia berkomentar dengan santainya.

“Pak,” Ajahn Brahm menjawab dengan terkejut, “Apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”

Si pengunjung berkata, “Ya, saya dapat melihat dua bata jelek itu, tetapi saya juga dapat melihat 998 batu bata yang bagus.”

Ajahn Brahm kemudian bercerita bahwa untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, ia mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, sebelah kiri, dan sebelah kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua batu bata jelek itu.

“Sebelumnya mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat. itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga, itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, sebuah tembok yang indah. Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, tetapi saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.”

Lanjut Ajahn, “Kita semua memiliki “dua bata jelek”, tetapi bata yang baik dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak begitu buruk lagi. Bukan hanya kita dapat berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, tetapi kita juga dapat menikmati hidup bersama rekan kita.”

Bagaimana? Cerita ini nempel di kepala saya sejak tahun lalu! 🙂
See the good things in life. Life is once. Live it.

Catatan: Buku yg saya maksud adalah Cacing dan Kotoran Kesayangannya.

Common Sense, Nonsense, and Everything in Between