Category: No Kidding

  • Pusingnya jadi Pengusaha

    Banyak yang mengupas enaknya menjadi pengusaha. Biasanya terbayangkan enaknya punya jam kerja fleksibel, bisa mengubah dunia, menjadi bos bagi diri sendiri, atau bisa menciptakan penghasilan tak terbatas. Bagi sebagian orang lagi, bisa menciptakan lapangan kerja mungkin menjadi misinya. 

    Intinya, jadi pengusaha itu bagus dan keren. Tak heran seminar menjadi pengusaha banyak yang laku. Menjadi karyawan identik dengan kebalikan pengusaha. Jam kerja ngga fleksibel, ada aturan yang membatasi, penghasilan ada patokannya, dan tentu saja punya bos. Rasa-rasanya tidak ada atau tidak banyak seminar menjadi karyawan sukses.  (more…)

  • Lemari Buku Baru: Cerita IKEA Effect!

    Saya dan istri memutuskan membeli lemari untuk menampung buku-buku yang makin menumpuk tidak karuan di ruang kerja. Setelah mencari cukup lama, akhirnya diputuskanlah untuk membeli lemari putih dari IKEA, dengan pintu kombinasi kaca dan kayu. Lemari yang cantik.

    Bagi Anda yang sudah kenal IKEA, atau pernah berbelanja di IKEA, tentu paham bahwa kita akan diberikan unit yang belum dirakit. Komponen-komponen dan beberapa bilah kayu yang jika dipasang dengan benar akan menjadi persis seperti unit contoh. Pulang ke rumah, saya mengambil perkakas yang dibutuhkan dan mulai merakit. Persis seperti bermain LEGO.

    Saya menghabiskan 2-3 jam untuk merakit penuh 2 unit lemari tersebut. Pada lemari kedua, salah satu pintu ternyata tidak terpasang dengan rata, selisih ketinggian 1 milimeter dengan pintu lainnya. Tapi setelah saya lihat dan pandangi dari beberapa sudut, ah tidak signifikan, tidak ada yang melihat itu selain saya. Saya yakin, istri saya juga tidak akan notice kecuali ia membaca artikel ini.

    IMG_0266

    Cantik sekali lemari itu setelah dirakit. Beberapa kali saya pandangi dalam 2-3 hari ini. Sedikit narcistic, saya cukup kagum dengan hasil karya ini. Hingga kemudian saya membaca 1 riset yang menghasilkan terminologi The IKEA Effect!

    Hasil riset ini menunjukkan bahwa ketika orang menggunakan tenaga mereka sendiri untuk membangun sebuah produk tertentu, mereka memberi nilai lebih daripada jika mereka tidak menempatkan usaha apapun ke proses pembentukannya, bahkan jika hasil pekerjaan ini kurang baik.

    Prinsipnya adalah jika kita telah menginvestasikan waktu dan tenaga saya membuatnya, maka kita cenderung memberi valuasi lebih atas hasilnya, walaupun hasilnya jelek. Menarik! Nah, bagaimana Anda menggunakan IKEA Effect ini di perusahaan Anda?

    The “IKEA Effect”: When Labor Leads to Love: http://www.hbs.edu/faculty/Publication%20Files/11-091.pdf

  • Ajahn Brahm dan Cerita Dua Batu Bata

    Entah kenapa beberapa hari ini kepikiran terus dengan cerita dua batu batanya Ajahn Brahm. Suatu saat, Ajahn Brahm dan teman-temannya harus membangun vihara. Karena mereka tidak memiliki uang, maka mereka harus mengerjakan semuanya sendiri, tanpa tukang-tukang yang handal.

    Dari cerita di buku tersebut, diceritakan bagaimana mereka memikirkan bahwa membuat tembok dengan batu bata adalah sangat mudah: tinggal tuangkan seonggok semen, ketok sana, ketok sini, dan voila jadilah 1 tembok. Ketika mereka mulai memasang, ternyata tidak segampang itu. Membangun tembok yang rata dan mulus bukanlah hal mudah.

    Namun, sebagai Bhikkhu, mereka memiliki kesabaran dan waktu. Mereka bekerja keras memastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya selesai juga tembok batu bata pertama. Setelah itu, saat Ajahn sedang mengagumi karyanya, ia menemukan bahwa ia telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua bata tersebut tampat miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Ia sungguh kecewa.

    Semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi ia bertanya kepada kepala vihara apakah ia boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru. Ia telah membuat kesalahan dan ia menjadi kecewa. Kepala vihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.

    Nah, bagian menariknya adalah ketika ia membawa para tamu pertama berkunjung keliling vihara setengah jadi tersebut, ia selalu menghindari membawa mereka melewati tembok bata tidak sempurna yang ia buat. Suatu hari, ia berjalan dengan seorang pengunjung dan pengunjung tersebut melihat tembok tersebut.

    “Itu sebuah tembok yang indah”, ia berkomentar dengan santainya.

    “Pak,” Ajahn Brahm menjawab dengan terkejut, “Apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”

    Si pengunjung berkata, “Ya, saya dapat melihat dua bata jelek itu, tetapi saya juga dapat melihat 998 batu bata yang bagus.”

    Ajahn Brahm kemudian bercerita bahwa untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, ia mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, sebelah kiri, dan sebelah kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua batu bata jelek itu.

    “Sebelumnya mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat. itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga, itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, sebuah tembok yang indah. Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, tetapi saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.”

    Lanjut Ajahn, “Kita semua memiliki “dua bata jelek”, tetapi bata yang baik dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak begitu buruk lagi. Bukan hanya kita dapat berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, tetapi kita juga dapat menikmati hidup bersama rekan kita.”

    Bagaimana? Cerita ini nempel di kepala saya sejak tahun lalu! 🙂
    See the good things in life. Life is once. Live it.

    Catatan: Buku yg saya maksud adalah Cacing dan Kotoran Kesayangannya.

  • Why Donate? Why YCAB?

    People asked the motives of us (SSCX) donating some money to YCAB Foundation. Well, the motive is simple, I and my team would like to do something. Simply doing something good that we can all be proud of and if it then motivates other to do the same, we can say we have achieved our goal. I know YCAB (Yayasan Cinta Anak Bangsa), few years ago when my previous company helped them developed standard-based management system (ISO 9001). Since then, I’ve been keeping myself updated with what they are doing.

    I met the team of YCAB few months ago, and I explained the mission. I and my team would like to do something. And we want of course to be very sure that the fund did go somewhere where helps are needed. We all know how foundations can be very scammy! Read this: Americas Worst Charities <-- for example: Kids Wish Network, they raised $127.8 million but spent $109.8 million to solicitors and only a slim 2.5% goes as cash aid. According to the list of America’s Worst Charities, they are ranked #1 of the worst!

    So, we carefully select a trusted foundation with similar mission to us and we strongly believe YCAB is a reliable partner. What we are expecting is, the money can really help children finish school. Children is the future of the nation, right?

    If you would like to do something, here’s a Wishlist you can try to make come true.

    Also, here’s a news link from Yahoo with a photo. In the picture, Dr. Iskandar Irwan “Andie” Hukom is receiving donation from SSCX and Opexcon. Dr Andie is the COO of the foundation, we are glad he spared some time to attend Opexcon and share the mission of YCAB.

  • Ekspektasi dan Mengelola Ekspektasi

    Konsep mengelola ekspektasi atau harapan pelanggan itu sudah lama dibicarakan dan sudah jadi topik wajib kalau bicara subjek kepuasan pelanggan. Mengelola ekspektasi ini memang hal yang menurut saya sangat menarik. Paling lumrah terjadi adalah over promise — kemudian harapan atau ekspektasi pelanggan menjadi sangat tinggi — selanjutnya terjadi under deliver dan pelanggan marah bukan kepalang.

    Skenario itu yang sebenarnya paling sering terjadi. Yang menarik sebenarnya adalah kadang ekspektasi tersebut muncul diluar kendali kita. Pengetahuan, rumor, pengalaman sebelumnya, semuanya berpengaruh pada penciptaan ekspektasi tersebut. Ada yang positif dan ada yang negatif.

    Contoh paling sederhana adalah penerbangan. Coba kita bandingkan saja 2 maskapai dengan market share raksasa di 2 segmen berbeda, Garuda Indonesia dan Lion Air alias JT.

    Segmen GA punya persyaratan yang tinggi, umumnya mereka sudah sering menggunakan jasa penerbangan, dan juga seringnya menggunakan GA karena standar dari GA. Mereka yang kerap menggunakan JT juga bukannya tidak pernah terbang, Lion Air bukanlah yang awalnya make them fly. Pengguna JT juga sebagian terpaksa karena rute tersebut tidak gemuk dan dengan adanya JT saja sudah menciptakan “monopoli karena market size terbatas”.

    Yang sangat menarik adalah jika GA on time tidak ada yang puas, tapi jika telat 30 menit saja rasanya maskapai tersebut sudah berbuat dosa besar pada umat manusia. Padahal apakah kita pernah membaca janji mereka bahwa mereka akan on time? Tidak. Dalam semua marketing materials mereka, tidak pernah mereka memberikan janji tersebut.

    Janji mereka “hanyalah” berupa jadwal. Dan jadwal sangat tergantung banyak faktor yang sayangnya tidak menarik bagi si pelanggan. Misalnya faktor cuaca, kepadatan bandara, jam operasional bandara, kepadatan trafik di udara, on time performance penyedia meal dan avtur dll.

    Bagi pelanggan GA, on time adalah basic requirement yang tidak perlu lagi ditanyakan.

    Sementara itu, bukannya saya menjelekkan perusahaan lain, tapi sudah informasi umum kalau Lion Air sering sekali terlambat. Perlahan, karena informasi dan berita tersebut, harapan pelanggan kepada JT sudah rendah. Bagi mereka, on time adalah berkah. Telat adalah biasa. Malah ada plesetan bahwa LION itu adalah Late is Our Nature.

    Kemarin, dalam perjalanan kembali dari Yogyakarta ke Jakarta bersama rombongan, istri memberi kabar saking terkejutnya: Lion On Time!