Category: Life

  • The Great Street Sweeper

    What I’m saying to you this morning, my friends: Even if it falls your lot to be a street sweeper, go out and sweep streets like Michelangelo painted pictures! Sweep streets like Handel and Beethoven composed music. Sweep streets like Shakespeare wrote poetry. Sweep streets so well that all the host of heaven and earth will have to pause and say, “Here lived a great street sweeper who swept his job well!”

    Saya selalu ingat quote Martin Luther King yang ini. Dari sekian banyak pidato dan quotable speech-nya MLK, ini yang paling berbekas dan berkesan. Saya selalu tidak paham jika ada yang bisa menjadi medioker, apa adanya.
    I mean, jika kita melakukan sesuatu, lakukan yang terbaik. Bisa saja sih melakukan hanya apa-adanya, pasrah pada batasan keadaan, pasrah pada situasi. But, is that your class?

    Saya sering menemukan dimana sebagian orang nyaman-nyaman saja dengan menyelesaikan pekerjaan yang setengah-setengah, yang bukan world class, bahkan kadang bukan at his own class. Why? Why would someone do that?

    Be the best at what you do ini tidak ada kaitannya dengan passion. Jika Anda memang sudah harus melakukan 1 hal, lakukanlah yang terbaik. Jika ini memang bukan passion Anda, dan Anda tahu ini bisa menjadi alasan Anda untuk tidak deliver the very best, don’t start doing it. Tidak ada orang yang passionnya adalah membersihkan lantai, sehingga cita-citanya menjadi street sweeper. But when you have to become a street sweeper, do the very best.

    Tidak selalu kita cukup hanya melakukan apa yang kita sukai dan apa yang jadi passion kita.

    You can’t take your child to good school, if you can’t afford the tuition fee. And I don’t see in any time soon that you can go to the school and tell’em that you have found your passion in this and that, and hope your kids are accepted and granted to study without the need of paying the tuition fee you can’t afford.

    So, sometimes yes you have to do something that is not your passion, or in some cases you even hate what you are doing. But you have to. And when you have to, do the best. Deliver the best. And then you can answer one of my client funny question: “where’s the wow?”

  • Ke Mana Tuhan Saat Banjir?

    Tiap kali banjir, saya hampir selalu ingat satu cerita yang saya dengar di salah satu misa gereja. Tidak banyak pastor yang bisa membuat cerita ringan yang kemudian related ke topik Injil. Kebetulan, pastor yang saya tidak ingat namanya ini bisa. Kalau di dunia pelatihan, debrief-nya pas.

    Nah, pastor ini menceritakan cerita tentang mereka yang tertimpa musibah banjir. Cerita ini saya dengar sekitar 5-6 tahun lalu. Mungkin sebagian sudah pernah mendengarnya juga.

    Ada satu orang di sebuah kompleks perumahan yang malang tertimpa musibah ini. Orang ini adalah orang yang sangat-sangat taat beribadah pada Tuhan. Seorang religius lah, bahasa ringkasnya. Dia sangat percaya akan Tuhan.

    Karena tertimpa musibah ini, dia berdoa pada Tuhan, memohon bantuan dari Tuhan agar ia diselamatkan. Saat itu, air bergerak terus naik, lantai dasar rumah ini bahkan sudah ‘tenggelam’. Ia kemudian lari ke lantai 2 dan kemudian ke atap. Air sangat cepat naik, dalam hitungan jam air naik 3-4 meter. Mengerikan. Tak lama berselang, regu penyelamat datang dengan perahu karet, “Ayo, loncat ke perahu ini saja!”, tapi orang ini tidak mau, ia percaya Tuhan akan menyelamatkannya. Orang ini berdoa lagi pada Tuhan, meminta pertolongan. Air naik lagi.

    Datang lagi regu kedua yang sedang menyisir kompleks perumahan ini, “Ayo! Loncat ke perahu ini!”. Orang ini tidak mau. Ia percaya Tuhan akan menyelamatkannya. Sejam kemudian, perahu ketiga datang, lagi-lagi ia menolak.

    Akhirnya, air naik lagi dan ia tenggelam. Ia tidak bisa berenang! Akhirnya ia meninggal. Menyedihkan. Dalam perjalanan di alam sana, ia bertemu Tuhan, ia menangis dan bertanya mengapa Tuhan yang ia sayangi dan percayai tidak datang menyelamatkannya di saat ia membutuhkan.

    Tuhan berkata: “Saya mengirim perahu sampai 3 kali, tetapi kamu yang tidak mau diselamatkan!”

    Cerita ini ringan tapi pesannya dapat diterima 🙂 Bantuan Tuhan ataupun jeweran dari Tuhan bentuknya bisa tidak terbayangkan oleh kita, bentuknya bisa macam-macam. Cerita lain yang relevan juga adalah cerita Robohnya Surau Kami. Kapan-kapan akan saya summarize.

  • Ajahn Brahm dan Cerita Dua Batu Bata

    Entah kenapa beberapa hari ini kepikiran terus dengan cerita dua batu batanya Ajahn Brahm. Suatu saat, Ajahn Brahm dan teman-temannya harus membangun vihara. Karena mereka tidak memiliki uang, maka mereka harus mengerjakan semuanya sendiri, tanpa tukang-tukang yang handal.

    Dari cerita di buku tersebut, diceritakan bagaimana mereka memikirkan bahwa membuat tembok dengan batu bata adalah sangat mudah: tinggal tuangkan seonggok semen, ketok sana, ketok sini, dan voila jadilah 1 tembok. Ketika mereka mulai memasang, ternyata tidak segampang itu. Membangun tembok yang rata dan mulus bukanlah hal mudah.

    Namun, sebagai Bhikkhu, mereka memiliki kesabaran dan waktu. Mereka bekerja keras memastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya selesai juga tembok batu bata pertama. Setelah itu, saat Ajahn sedang mengagumi karyanya, ia menemukan bahwa ia telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua bata tersebut tampat miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Ia sungguh kecewa.

    Semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi ia bertanya kepada kepala vihara apakah ia boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru. Ia telah membuat kesalahan dan ia menjadi kecewa. Kepala vihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.

    Nah, bagian menariknya adalah ketika ia membawa para tamu pertama berkunjung keliling vihara setengah jadi tersebut, ia selalu menghindari membawa mereka melewati tembok bata tidak sempurna yang ia buat. Suatu hari, ia berjalan dengan seorang pengunjung dan pengunjung tersebut melihat tembok tersebut.

    “Itu sebuah tembok yang indah”, ia berkomentar dengan santainya.

    “Pak,” Ajahn Brahm menjawab dengan terkejut, “Apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?”

    Si pengunjung berkata, “Ya, saya dapat melihat dua bata jelek itu, tetapi saya juga dapat melihat 998 batu bata yang bagus.”

    Ajahn Brahm kemudian bercerita bahwa untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, ia mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, sebelah kiri, dan sebelah kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua batu bata jelek itu.

    “Sebelumnya mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat. itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga, itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, sebuah tembok yang indah. Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, tetapi saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.”

    Lanjut Ajahn, “Kita semua memiliki “dua bata jelek”, tetapi bata yang baik dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak begitu buruk lagi. Bukan hanya kita dapat berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, tetapi kita juga dapat menikmati hidup bersama rekan kita.”

    Bagaimana? Cerita ini nempel di kepala saya sejak tahun lalu! 🙂
    See the good things in life. Life is once. Live it.

    Catatan: Buku yg saya maksud adalah Cacing dan Kotoran Kesayangannya.

  • Cerita Dompet si Pedagang

    Ceritanya seorang pengemis menemukan sebuah dompet kulit yang tercecer di pasar. Ia membukanya dan menghitung bahwa dompet itu berisi 100 keping emas. Tiba-tiba ia mendengar teriakan seorang pedagang di pasar tersebut, “Hadiah! Hadiah! Saya akan memberikan hadiah ke siapapun yang menemukan dompet kulit saya!”

    Sebagai orang yang jujur​​, pengemis inipun menghampiri pedagang tersebut dan menyerahkan dompet, “Ini dompet Anda. Apakah saya kini berhak atas hadiah?”

    “Hadiah?” kata orang itu sambil menghitung emas dalam dompet. “Seharusnya ada 200 keping emas di dalam dompet ini. Kau sudah mengambil lebih besar dari hadiah yang rencananya akan saya berikan! Pergi atau aku akan lapor polisi!”

    “Saya orang yang jujur​​,” kata pengemis tersebut. “Mari kita selesaikan saja hal ini di pengadilan.”

    Di pengadilan, hakim sabar mendengarkan kedua sisi cerita dan berkata, “Baiklah, saya percaya pada kalian berdua. Kita bisa menegakkan Keadilan di kasus ini! Pedagang, Anda menyatakan bahwa dompet Anda hilang berisi 200 keping emas. Nah, itu nilai yang cukup besar. Tapi, dompet yang ditemukan oleh pengemis ini hanya berisi 100 keping emas. Oleh karena itu, ini bukanlah dompet kamu yang tercecer.”

    Kemudian hakim memberikan dompet dan semua isinya untuk si pengemis.

    Saya membaca cerita ini di blog Story Arts. Sungguh cerita yang menginspirasi. What yours is yours. Ini merupakan reminder bagi kita semua untuk jujur dan memegang janji kita sendiri. Semoga cerita ini bermanfaat bagi Anda. Share if you like.

  • Jangan Baca Kalau Mau ke Ciamis

    Tidak pernah terbersit dalam 29 tahun hidup saya, kalau saya akan menghabiskan beberapa malam di Ciamis. Mendengar namanya saja cuma akhir-akhir ini.

    Saya menghabiskan waktu 2 bulan di sana. Minggu dan Senin lalu. Terpaksa saya menggunakan kata bulan, karena di Ciamis, 1 hari itu memang seperti 30 hari. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Saya jadi percaya teori relativitas Einstein setelah berada di Ciamis. Itu sebabnya juga sih salah satu kegiatan ibu-ibu di desa seputaran Ciamis katanya adalah menyulam. Kegiatan apalagi yang bisa mengisi waktu yang panjang selain menyulam? Walaupun saya sedikit heran, karena di artikel yang saya baca, ibu ibu tersebut ngomong begini: “…dalam sehari paling banter dia hanya bisa menyelesaikan sulaman dua potong busana muslim. Itupun, kata dia, seandainya pengerjaannya tidak terganggu dengan kegiatan yang lain…”, ADA KEGIATAN LAIN APA?

    Kota ini teramat kecil. Catatan: tidak ada niatan sama sekali menghina kota kecil ini apalagi saya sendiri berasal dari satu kota kecil di tengah Sumatera, di mana listrik tidak selalu ada, dan semua orang menggali sumur sendiri untuk mendapatkan air. 🙂 Balik lagi soal Ciamis. Kota ini memang sangat kecil.

    Ada 2 jalan utama membentang: Jalan Sudirman dan Jalan Juanda, kalau tidak salah. That’s it. I told you. Kota kecil. Ujung jalan ini adalah Alun Alun Kota, atau dikenal juga dengan Taman Raflesia. Buat mereka yang suka jalan-jalan di Eropa, ini seperti nostalgia. Ini seperti Plaza atau Piazza. Semua orang berkumpul di sini! Beneran, pada sore hari itu, sepertinya semua penduduk Ciamis keluar dan berkumpul di alun-alun ini.

    Saya bahkan terpikir bahwa kebagian tugas sensus penduduk di Ciamis paling gampang. Sore-sore ke alun-alun saja, hitungin jumlah orang, kemudian tungguin di pinggir jalan dan hitung jumlah motor mobil yang lewat. That’s it.

    Kalau mau berbelanja, di sini cuma ada beberapa pilihan. Ada CiMall, yak Mall! Ciamis Mall. Isinya cuma GIant dan bbrp toko kecil lain (<10), dan ajaibnya sore itu saya, Ike, dan Aiden tiba jam 17.40. Begitu masuk langsung muncul pengumuman kalo akan tutup jam 18.00, harap segera ke kasir (-.-“)

    Tempat belanja paling beradab adalah Yogya. Ini adalah timezone. Masuk ke Yogya ini, kita seperti masuk ke abad 21. Begitu keluar, kita kembali mampir ke tahun 1981. Yak, seperti terlahir kembali agaknya.

    Saya ngga cocok sama sekali tinggal di Ciamis. Ambisi, energi, semangat hidup tersedot oleh monumen raflesia raksasa di alun-alun. Monumen setinggi 3 meter ini hanya pada waktu tertentu menghibur lewat air mancurnya. Dari atas monumen ini, kita mungkin bisa melihat satu Ciamis. Note: tidak bisa dipanjat karena sudah dipagar. Saya yakin dulu ada yang pernah mencoba melihat satu Ciamis dari sini.

    Satu-satunya high point Ciamis adalah saya bisa melihat Aiden ceria dengan Delman Domba 🙂

    Screen Shot 2013-09-25 at 8.32.25 PM

     

    Ciamis ini cuma cocok untuk beberapa orang:

    1. Mereka yang ingin merasakan kesunyian dan bertapa. Karena Bali is too mainstream.
    2. Mereka yang ingin memikirkan kembali arti hidup mereka sejauh ini.
    3. Mereka yang tinggal di hutan dan ingin sedikit mencicipi peradaban.
    4. Mereka yang memang aslinya dari Ciamis.
    5. Mereka yang karena tuntutan tugas berbakti pada nusa dan bangsa harus ditempatkan di sini.

    Ini adalah review jujur atas Kota Ciamis ini. Mudah-mudahan kota ini bisa berkembang nantinya. Tapi, saat ini saya sedang memikirkan apa yang akan saya lakukan minggu depan saat kembali ke Ciamis Manis.