Banyak yang mengupas enaknya menjadi pengusaha. Biasanya terbayangkan enaknya punya jam kerja fleksibel, bisa mengubah dunia, menjadi bos bagi diri sendiri, atau bisa menciptakan penghasilan tak terbatas. Bagi sebagian orang lagi, bisa menciptakan lapangan kerja mungkin menjadi misinya.
Intinya, jadi pengusaha itu bagus dan keren. Tak heran seminar menjadi pengusaha banyak yang laku. Menjadi karyawan identik dengan kebalikan pengusaha. Jam kerja ngga fleksibel, ada aturan yang membatasi, penghasilan ada patokannya, dan tentu saja punya bos. Rasa-rasanya tidak ada atau tidak banyak seminar menjadi karyawan sukses.
Yang namanya pengusaha, artinya punya usaha. Pengusaha menjalankan perusahaan. Perusahaan bisa dijalankan sendiri atau dengan karyawan.
Lima tahun pertama, saya bekerja di 2 perusahaan sebagai karyawan. 7 tahun terakhir saya menjadi pengusaha.
Benarkah menjadi pengusaha itu lebih baik?
Tidak juga.
Jadi pengusaha banyak pusingnya. Pusingnya umumnya tidak terlihat oleh orang lain apalagi karyawan *bukan curcol ya*
Pusingnya pengusaha bukan cuma saat masa sulit. Pusingnya pengusaha terjadi kapan saja mulai dari yang sederhana seperti ‘pusing’ memenuhi order, memilih strategi branding, atau mencari order; hingga pusing yang bisa membuat gentar siapa saja.
Contoh pusing kelas berat adalah saat harus membayar gaji karyawan tetapi dana di kas tidak cukup, pelanggan berhenti membayar atau piutang tidak tertagih, karyawan terbaik memutuskan resign (mungkin habis ikut seminar enaknya jadi pengusaha), komplain keras dengan ancaman publikasi negatif dan masih banyak lagi.
Dipikir-pikir, pusing jadi pengusaha. Enaknya jadi karyawan, tiap bulan dapat penghasilan pasti, bisa mengintip peluang karir dengan penghasilan lebih baik, begitu selesai jam kerja bisa fokus dengan keluarga.
Tapi benarkah demikian, apakah memang lebih enak jadi karyawan?
Tidak juga.
Jadi karyawan juga banyak pusingnya. Pusing yang mungkin tidak diketahui pengusaha.
Jika tidak pintar menghargai apa yang dimiliki, kita memang akan selalu melihat apa yang dimiliki orang lain. Sampai pada saat kita berada di posisi lain tersebut, kita baru bisa mengapresiasi apa kenikmatan yang selama ini kita dapat. Ini sama dengan cerita Ajahn Brahm tentang: untungnya dia, malangnya saya.