Category: No Kidding

  • 3 Simple Secrets of Happiness – According to Me

    Seringkali melihat status Facebook atau tweet atau status Blackberry Messenger teman yang sepertinya hidupnya susah sekali. Seakan dunia sangat tidak fair kepada dia. Padahal kalau kita lihat dari luar, teman ini punya penghasilan lumayan, sebagiaan malah punya rumah sendiri atau mobil. Tetapi kenapa mereka bersusah hati? Mereka punya istri/suami yang sayang sekali dengan mereka, tidak punya sakit yang berat. Kenapa mereka tidak bahagia?

    Saya memang belum melahap banyak buku tentang happiness, tapi saya rasa dari beberapa yang sempat saya baca, ada satu rahasia kecil yang wajib dijalankan dan merupakan langkah awal menuju happiness dan itu sebenarnya dimulai dari sebuah habit atau kebiasaan. Saya suka sekali dengan habit #1 yang disampaikan Stephen Covey: Being Proactive.

    Apa maksudnya? Dan kenapa ini adalah pula langkah awal menuju happiness?

    Proactive alias proaktif artinya kita mengambil inisiatif atas cara kita merespon apa yang terjadi pada kita. Lawan proaktif adalah reaktif. Reaktif dalam konteks happiness ini adalah kita sangat dipengaruhi oleh lingkungan atau situasi. Ini hal yang sangat berbeda. Dengan menjadi proaktif, kita tidak menyalahkan orang tua, tempat kita lahir atau dibesarkan, sekolah kita, tempat kerja kita, cuaca, aturan pemerintah, dll, dalam menentukan kebahagiaan kita.

    Salah satu teori yang disampaikan oleh Covey dan sangat saya sukai, bahwa semua faktor eksternal tersebut adalah stimulus. Kendali dan kekuatan terbesar kita adalah menentukan apa respon kita atas stimulus tersebut. Menjadi proaktif adalah memegang kendali. Mau bahagia, bahagialah!

    We only live once, but if you live it right, once is enough!

    Saya lupa dengar statement itu dari siapa, tapi saya tidak pernah lupa statement dan maksudnya itu.

    Balik soal proaktif. Menjadi proaktif memang tidak mudah, bahkan bisa dikatakan sulit. Saya mencobanya, tetapi tetap saja ada beberapa kali “kelolosan” dan menjadi reaktif. Kita memang harus terus diingatkan agar balik lagi ke proaktif, sebelum ini benar-benar menjadi sebuah kebiasaan/habit.

    Nah, selain proaktif, ada 2 hal lain yang menurut saya penting dan sebenarnya sederhana. Yang pertama adalah being grateful dan yang kedua adalah live in the present. Saya sampaikan ringkas saja.

    Being grateful adalah bersyukur atas apa yang kita miliki dan tidak malah bersedih karena tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain. Kalau yang ini, saya sudah mencobanya dan menurut saya, so far saya menjalankannya dengan baik. Bersedih hati atas apa yang tidak kita miliki itu tidak akan ada habisnya. Saat kita memiliki mobil kita sedih karena ada orang yang ke kantor dengan helikopter. Begitupun saat kita memiliki helikopter, kita sedih dan tidak happy karena ada yang punya jet pribadi. Siapa yang rugi dengan situasi ini?

    Live in the present adalah menikmati hidup pada saat ini, hari ini. Kita tidak bisa menyatakan bahwa kita akan bahagia saat suatu situasi terjadi. Kita tidak bisa menyatakan bahwa kita sedang berusaha menciptakan suatu situasi agar kita kemudian bisa berbahagia. Coba bayangkan orang yang mengatakan bahwa ia sedang bekerja keras, hidup susah, tidak punya waktu untuk keluarga, karena ia ingin menjadi CEO di sebuah perusahaan, agar ia dan keluarganya kemudian bisa berbahagia. Ia tidak sedang hidup berbahagia pada saat ini. Apakah saat ia menjadi CEO ia akan berbahagia? Belum tentu, mungkin ia kemudian menyatakan ia akan berbahagia jika memiliki bisnis sendiri. Benar?

    Cobalah kombinasi sederhana ini: being proactive x being grateful x live in the present. Simple. Be happy.

    Remember, what they always told you: always look on the bright side of life!

    Disclaimer:

    Posting ini tidak mencoba menyederhanakan permasalahan. Mungkin masalah Anda memang banyak + rumit, dan 3 hal ini sama sekali tidak akan membantu, tetapi ingatlah bahwa it’s not the end of the world. Try looking at the bright side or at least the better side of your life. This is an article from a happy man, so it may not reflect the true case of how you can actually handle your own.

  • So Obvious! Cerita tentang Telur Columbus

    Dalam banyak sesi diskusi dengan klien, kami sering menunjukkan peluang perbaikan (opportunities for improvement) dan kadang bagaimana cara menyelesaikan sebuah masalah. Menariknya, saat kami menyampaikan apa yang perlu dan bisa dilakukan banyak yang mengatakan “Kalau cuma ini, kami juga bisa”.

    Dalam banyak sesi sebenarnya kalimat yang ingin disampaikan klien adalah “Kalau cuma ini, kami juga bisa. This is obvious. Saya tidak butuh orang lain untuk membantu saya menyelesaikan masalah ini kalau solusinya cuma segini”.

    Saat salah satu klien SSCX mengganti pola shift kerja operator dan menghemat banyak uang, sebagian eksekutif mengatakan bahwa “ya, ini common sense, ini sesuatu yang sangat jelas, dari awal kita aware bahwa kita harus menggantinya”. Tetapi hal ini tidak terjadi sampai kami membantu mereka dan memastikan mereka menggantinya.

    Saat kami mengganti kantong belanja di sebuah perusahaan ritel dengan spesifikasi yang lebih rendah (dan biaya yang lebih rendah) tetapi masih dapat diisi dengan beban barang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, eksekutif perusahaan mengatakan bahwa “Ya, ini sesuatu yang sangat jelas dan kami sudah tahu dari dulu, ini hanya tinggal menunggu waktu untuk dijalankan”.

    Di sektor manapun, hal yang sama terjadi, saat kami menjalankan perubahan pada cara setup sebuah mesin produksi, waktu setup turun dari 3 jam menjadi 25 menit, lagi-lagi ada direktur yang merasa bahwa ini sesuatu yang mudah dan mereka cuma heran kenapa orang di Produksi tidak melakukan ini lebih awal.

    Di awal-awal keterlibatan saya di bidang ini, saya masih muda dan tidak begitu paham kenapa ini terjadi. Pertanyaan saya, sebagian terlontar saat sesi memanas dan sebagian lagi saya sampaikan dalam hati: “Jika anda sudah tahu, dan jika ini gampang, mengapa anda tidak melakukannya sebelum kami ke sini?”

    Saat saya menceritakan hal ini kepada seorang rekan yang lebih senior di SSCX, ia tertawa dan menceritakan cerita ttg telur. Begini ceritanya.

    Columbus sedang makan dengan beberapa bangsawan Spanyol setelah ia menemukan benua Amerika, kemudian salah satu dari mereka berkata: “Sir Christopher, bahkan jika Anda tidak menemukan benua itu, benua itu tetap akan segera ditemukan. Negeri ini berlimpah dengan orang yang sangat ahli dalam kosmografi dan sastra, salah satu dari mereka akan memulai petualangan yang sama dengan hasil yang sama.”

    Columbus tidak menanggapi kata-kata tetapi malah meminta telur utuh untuk dibawa kepadanya. Dia meletakkannya di atas meja dan berkata: “Tuan, saya bertaruh dengan salah satu dari Anda bahwa Anda tidak dapat membuat telur ini berdiri pada ujungnya seperti aku akan melakukannya tanpa bantuan apapun atau bantuan”.

    Mereka semua kemudian mencoba tetapi tidak berhasil dan ketika telur kembali ke Columbus, ia mengetuk telur dengan lembut di meja dan memecahkan telur ini sedikit, dengan ini telur berdiri di ujungnya. Semua yang hadir bingung dan kemudian mengerti apa maksudnya: bahwa setelah sesuatu telah dilakukan, semua orang akan tahu bagaimana melakukannya.

    Mungkin Anda masih ingat “insiden” logo Pertamina. Pertamina membayar mahal ke sebuah perusahaan branding untuk sebuah identitas baru. Saat semua orang melihat logo baru Pertamina, semua mencibir “Masa’ untuk logo seperti ini saja sekian M?!”. Sekali lagi, segala sesuatunya terlihat mudah dan dapat dilakukan saat seseorang telah melakukannya dan menunjukkannya pada Anda.

  • Pantang Menyerah atau Goblok?

    Seorang teman memberikan pertanyaan terbuka di twitter, bagaimana membedakan pantang menyerah dan goblok. Saya bisa paham maksudnya, yaitu kapankah mencoba berulang-ulang dapat dikatakan pantang menyerah (positif) ataukah bodoh (negatif).

    Dalam pemahaman saya, sepintas kedua hal ini berbeda. Tidak bisa dibandingkan langsung karena keduanya bukan seperti pintar atau bodoh, cepat atau lambat. Jika pintar — bodoh, cepat — lambat adalah satu spektrum, maka pantang menyerah dan goblok/bodoh, tidak dalam spektrum yang sama.

    Pantang menyerah “cuma bisa” dibandingkan dengan cepat menyerah. Membedakan kedua hal ini tidaklah rumit. Paling mudah, jika kita bisa membuat kuantifikasi atas kedua hal tersebut, kecuali pantang menyerah yang artinya unlimited. Sementara cepat menyerah, jika kita mau, tentukan saja misalnya jika 3x mencoba dan gagal, itu artinya cepat menyerah.

    Nah, diluar konteks bahasa, saya yakin maksud dari teman ini adalah kapan titik dimana kita harus berhenti melakukan hal yg sama, berganti ke hal baru. Tentu saja tidak ada patokan untuk ini. Tidak ada kuantifikasinya. Tetapi yang menarik dari soal menyerah atau tidak adalah mencoba. Jika yang kita pertanyakan adalah dia cepat menyerah atau pantang menyerah, maka ini sebenarnya jauh lebih baik, dari pada mereka yang tidak mencoba. Inilah goblok itu.

  • Mencari Alasan

    Berolahraga secara teratur berpengaruh positif pada daya tahan tubuh. Makanan sehat dengan sedikit gorengan, dan lebih banyak sayuran hijau akan membuat tubuh makin sehat dan segar. Istirahat yang cukup sangat bermanfaat bagi kita. Apakah Anda sudah tahu tentang ini semua? Saya yakin sudah. Dokter, keluarga, dan teman pernah atau sering mengingatkan hal ini, tetapi, berapa banyak dari kita yang benar-benar menjalankannya? Padahal, Ini menyangkut hidup kita yang satu-satunya. Dalam jumlah sampel yang lebih luas, ternyata banyak orang yang juga mengetahuinya tetapi tidak menjalankannya. Seperti kata Stephen Covey, “common sense is not always common pratice”.

    Lantas, bagaimana dalam konteks organisasi? Dari rekan, buku, dan berbagai sumber kita belajar kisah sukses perusahaan yang berhasil dan praktik-praktik yang baik. Tetapi, apakah kita benar-benar menjalankannya? Akan selalu ada alasan untuk tidak memulai melakukan sesuatu secara benar. Saya pernah mendengar kalimat “Saat kita benar-benar mencari peluang, maka kita akan melihatnya dan menemukannya dalam banyak hal. Hal yang sama juga berlaku saat kita benar-benar mencari hambatan/alasan”, ini sangat relevan dengan situasi di banyak organisasi.

    Seorang praktisi Lean Healthcare, Mark Graban, menceritakan bagaimana awalnya General Motor merasa bahwa Lean (baca: Toyota Production System) tidak cocok diterapkan di General Motor karena perbedaan produk. “We’re different, machining engine blocks is different than snapping together cars”. Saat ini mereka salah satu yang paling sukses mengimplementasikan Lean.

    Bahkan, “We’re not Japanese” adalah kalimat-kalimat umum yang dipakai pabrik-pabrik di Amerika sampai Toyota membuktikan Toyota Production System sukses berjalan di dua pabrik Toyota yaitu NUMMI di California dan TMMK di Georgetown Kentucky.

    Saya tidak sedang menyarankan anda untuk menjalankan Lean Manufacturing, Six Sigma, Total Productive Maintenance, atau Process Improvement. Saya mengajak untuk berpikir sejenak, apakah selama ini kita mencoba mencari peluang ataukah mencari hambatan/alasan, apapun itu kita akan menemukannya. Anda yang paling tahu mana yang terbaik untuk Anda dan perusahaan. Take action. Quick. Your competitors just took it.

  • Assumption

    One of my bosses has a favorite quote: “Assumption is the mother of all fucked-up!”. He repeated in many many many times. I like to assume. That’s why, comprehending his statement is one of the hardest thing to do.

    Hari ini, misa pertama saya di Bandung. 🙂 never done it before. I might say this St Laurentius church is nice,.. lovely.
    Nah, pastornya membahas ttg pretty much the same thing. Tentu saja without the word: fuck.

    Intinya, semua orang punya satu layer asumsi, prejudice, sebelum benar-benar menelaah pikiran dan hati lawan bicara (read: orang lain). It hits me. Kalau dipikir-pikir, sepertinya I (read: we?) tend to do so. We thought we know many things (if not all). And sometimes, when we are talking on certain subjects that we think they are in our knowledge domain, it is very very hard to listen carefully to others and to really really looking for new things. We thought: I know that. You don’t know.

    Hmmmm… Certainly this is something I need to fix. I am not going to be fucked-up.