Category: Uncategorized

  • Leaving Jakarta After 15 Years

    Setelah 15 tahun tinggal di Jakarta, akhirnya tiba saatnya untuk meninggalkan kota ini. Sebenarnya juga tidak benar-benar meninggalkan sih, karena toh kantor dan klien-klien yang harus dikunjungi hampir setiap hari juga di Jakarta. Tapi lebih ke meninggalkan dalam konteks tinggal atau menetapnya.

    Masa tinggal di Jakarta sebenarnya adalah masa yang menyenangkan. 15 years, not a short period of time. Banyak hal yang tentu saja sangat menyenangkan selama ini, mulai dari zaman ngekos di Daan Mogot bareng genk Daan Mogot. Masa-masa room-sharing dengan kakak kelas demi mengirit uang kos, ke club, ke kasino malam-malam (sudah ngga ada sekarang), hingga dapat kerjaan pertama di Pulo Gadung.

    Kemudian tentunya adapula zaman pacaran, zaman LDR. Semua di Jakarta. Masa-masa beli motor pertama, beli mobil pertama. Masa-masa nginap di kantor adik karena banjir, atau kabur turun dari apartemen karena gempa. Ini mengajarkan bahwa kita harus selalu bisa beradaptasi dengan alam.

    The city taught me many things. Belajar banyak ketika harus kejar-kejaran bis karena takut telat ke pabrik. Life is not easy back then. Ini belajar time-management. Dan juga jadi motivasi kenapa harus cari uang untuk beli kendaraan.

    Belajar banyak waktu harus nyetirin senior ke klien. Senior tidak berkeprikemanusiaan 🙂 who later turns out to be my best friend, and even my best man.

    Belajar pluralitas, pastinya. Kota yang penuh perbedaan, SARA, kelas sosial, latar belakang. Ada yang otaknya miring, ada yang hatinya bengkok. Macam-macam lah. Kota yang kompleks, tetapi setahun terakhir ini sangat tersegarkan oleh pemimpin seperti Jokowi dan Koh Ahok 🙂 Dimana keduanya bukanlah ‘orang Jakarta’. Plural.

    Setelah 15 tahun, akan pindah ke kota yang lebih teratur tetapi lebih kecil. Tentu saja di rumah yang lebih lapang dan memungkinkan Aiden bertumbuh lebih nyaman. Space yang lebih memungkinkan Ike bermain dengan Aiden dan calon anak kedua. Juga dengan adanya kamar ekstra, kalau orang tua atau adik berkunjung, setidaknya ada tempat untuk menginap dan bercerita bersama.

    We are moving tomorrow. Excited! Weekend gonna be fun, weekdays gonna be messy 🙂

  • Ide itu Murah, Kawan!

    Ideas are cheap!

    Saya mendengar atau membaca kata-kata itu entah dari siapa. Saya mendengarnya sekitar setahun lalu. Sejak saat itu, saya makin sadar akan hal ini.

    Saya pernah bangga menjadi orang dengan banyak ide. Perlahan saya juga tahu ide saja tidak cukup. Ide itu murah. Murah karena “cuma ngomong”.
    Tapi lucunya memang banyak yang merasa hebat dengan ide saja. Yah mungkin ada porsinya. Memang ada orang yang memang “dibayar” dan diapresiasi karena ide. Kebetulan pekerjaan saya berlaku sebaliknya. Ide, wacana, konsep, cepat menjadi sampah jika tidak bisa direalisasikan.

    Tadi pagi dalam perjalanan, sambil mendengarkan Sore Tugu Pancoran-nya Iwan Fals, sempat baca di Kompas.com. Judulnya provokatif: DPRD: Ide Jokowi Hanya Kampung Deret, Selebihnya Bukan. Lengkapnya ada di sini ya.

    Menurut salah satu anggota DPRD ini,

    Selama setahun kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, hanya Kampung Deret yang murni berasal dari ide pemikiran Gubernur. Selebihnya, Jokowi hanya melanjutkan ide pemimpin sebelumnya.

    Menurut Igo, Kartu Jakarta Pintar (KJP) sama seperti beasiswa rawan putus sekolah pada era Fauzi Bowo. Adapun program Kartu Jakarta Sehat (KJS) tidak beda dengan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jaminan Kesehatan Daerah.

    “Pembebasan waduk, SK-nya dari zaman Sutiyoso. Yang desain Jakarta ke depan itu Sutiyoso, seperti busway, monorel, waterway, semua ada di bukunya Sutiyoso,”

    Itulah bedanya antara tahu antara apa yang mau dilakukan dan melakukan. Regional expansion, kata kata seksi dan terkesan brilian. Tanpa eksekusi dan realisasi, you get nothing. Itulah sebabnya dikatakan ideas are cheap. Lama kelamaan, dari pengalaman dengan orang disekitar kita, tim kita, kita akan makin bisa merasakan, sedemikian banyaknya ide dan sedemikian minimnya eksekusi.

    Kasihan juga anggota DPRD ini yang malah meminta tambahan ide. Menurut saya pribadi, yang diperlukan Jakarta bukan cuma ide tapi eksekusi.

    Igo berharap Jokowi dapat menghasilkan ide-ide brilian dalam memecahkan permasalahan yang lebih krusial di Ibu Kota, yaitu kemacetan dan banjir.

  • [alpine-phototile-for-instagram user=”suwandi” src=”user_recent” imgl=”fancybox” style=”cascade” col=”2″ size=”M” num=”4″ shadow=”1″ border=”1″ highlight=”1″ curve=”1″ align=”center” max=”100″ nocredit=”1″]

  • Vending Machine for Sandals

    Just noticed a vending machine for sandal! I like the idea, although their in-counter staffs may not. The system is very simple, they have limited sandal type, color, and size.

    20130615-183632.jpg

    Near the vending machine, they provides a jig to measure and make sure your size is correct.

    And thats my boy posing in front of it 🙂

  • Pantang Menyerah atau Goblok?

    Seorang teman memberikan pertanyaan terbuka di twitter, bagaimana membedakan pantang menyerah dan goblok. Saya bisa paham maksudnya, yaitu kapankah mencoba berulang-ulang dapat dikatakan pantang menyerah (positif) ataukah bodoh (negatif).

    Dalam pemahaman saya, sepintas kedua hal ini berbeda. Tidak bisa dibandingkan langsung karena keduanya bukan seperti pintar atau bodoh, cepat atau lambat. Jika pintar — bodoh, cepat — lambat adalah satu spektrum, maka pantang menyerah dan goblok/bodoh, tidak dalam spektrum yang sama.

    Pantang menyerah “cuma bisa” dibandingkan dengan cepat menyerah. Membedakan kedua hal ini tidaklah rumit. Paling mudah, jika kita bisa membuat kuantifikasi atas kedua hal tersebut, kecuali pantang menyerah yang artinya unlimited. Sementara cepat menyerah, jika kita mau, tentukan saja misalnya jika 3x mencoba dan gagal, itu artinya cepat menyerah.

    Nah, diluar konteks bahasa, saya yakin maksud dari teman ini adalah kapan titik dimana kita harus berhenti melakukan hal yg sama, berganti ke hal baru. Tentu saja tidak ada patokan untuk ini. Tidak ada kuantifikasinya. Tetapi yang menarik dari soal menyerah atau tidak adalah mencoba. Jika yang kita pertanyakan adalah dia cepat menyerah atau pantang menyerah, maka ini sebenarnya jauh lebih baik, dari pada mereka yang tidak mencoba. Inilah goblok itu.