Oleh-oleh paling menarik dari jalan-jalan adalah cerita. Jalan-jalan 4 hari ke Sumatera Barat akhir tahun 2015 ini, saya mendengar dan membaca banyak cerita, semuanya seru dan seperti membawa kita ke ratusan tahun lalu.
Beruntung, mertua adalah orang Sumbar yang mengetahui banyak cerita, termasuk soal jalan yang dibangun Belanda lewat kerja rodi untuk menghubungkan pelabuhan tersohor Teluk Bayur dengan kilang minyak di Riau. Dan banyak cerita lain. Sebagian rasa penasaran bisa dipenuhi juga dari Google. Ada satu cerita menarik tentang istilah Minangkabau, tetapi saya akan menulisnya di artikel lain tentang Kerajaan Pagaruyung melawan Kerajaan Majapahit.
Selama di Sumatera Barat, saya membeli 2 bungkus bubuk kopi. Yang satu mereknya Payung dengan embel-embel kopi Sumatera Barat dan yang satu lagi tanpa merek dan hanya dibungkus kantong plastik transparan. Kopi pertama biasa saja. Kopi yang tanpa merek ternyata asyik sekali dinikmati dengan kopi tumbuk khas Sumbar. Nah, kopi kedua inilah yang mengandung banyak cerita tentang kopi dan Sumbar.
Pada saat di toko oleh-oleh bernama Sanjai Mintuo, penjual menawarkan Kawa Daun. Apa itu kawa daun? Kawa artinya kopi, daun ya daun. Kawa daun artinya kopi dari daun kopi. Lho? Bukankah kopi diseduh dari bubuk kopi yang berasal dari biji kopi? Kenapa yang ini malah dari daunnya?
Bahkan diceritakan ibu penjual, cara menikmati kawa daun juga berbeda dengan ‘kopi’ biasa yaitu memakai tempurung kelapa, bukan gelas. Sepertinya memang masyarakat Sumbar sangat pintar memanfaatkan pohon kelapa, termasuk masakannya yang erat dengan santan.
Tertarik mengetahui mengapa mereka menggunakan daun dan bukan bijinya, saya menemukan blogpost yang menarik di sini yang saya kutip dan sunting sedikit.
Begini, ini semua bermula dari keinginan Gubernur Jenderal Van den Bosch untuk menerapkan tanam paksa kopi di Sumatera Barat pada 1840 menyusul keberhasilan di Jawa 10 tahun sebelumnya. Kopi adalah komoditi bernilai tinggi di Eropa sehingga keuntungan yang membayang sungguh luar biasa. Bagi VOC tentunya.
Akibat harganya yang tinggi itu, semua biji kopi harus diserahkan ke gudang kopi alias koffiepakhuis tanpa boleh tercecer sebijipun. Muncullah sebutan pakuih kopi bagi pegawai pribumi yang mengurus gudang kopi ini. Tak heran jika mereka umumnya ikut kecipratan kaya.
Tapi malang bagi masyarakat kebanyakan. Mereka hanya boleh menanam saja tanpa boleh mencicipi rasa minuman kopi yang diolah dari bijinya. Dari sana timbullah ide kreatif untuk membuat minuman dengan menyeduh daunnya, demi mencicipi rasa kopi yang harum itu. Ide ini terinspirasi dari cara mengolah daun teh menjadi minuman.
Pastinya rasa daun kopi tidak sama dengan rasa biji kopi. Tapi setidaknya ada bau-bau kopinya juga. Penderitaan ini baru berakhir pada tahun 1908 ketika tanam paksa kopi diganti dengan penerapan belasting atau pajak. Namun tradisi minum air daun kopi ternyata tidak ikut berhenti. Mungkin karena sudah berlangsung lebih dari 60 tahun.
Penjajahan VOC memang membawa banyak kesengsaraan, bahkan menikmati kopipun tidak bisa. Tidak terbayang jika kita hidup di masa itu sebagai kaum yang terjajah. Tidak ada cerita menikmati kopi hitam ditemani 2 keping kacang tumbuk.
Menarik sekali bagaimana kita bisa mencoba membayangkan tahun 1800an hingga 1900an dari ‘kopi daun’ ini, dan lebih menariknya adalah kita bisa penasaran membaca cerita hanya karena ditawarkan minuman ini oleh ibu penjual di salah satu toko sepanjang Jalan Raya Batusangkar – Bukittinggi.