Category: Life

  • Cerita si Tuan Kebun

    Hari Sabtu lalu di gereja, saya mendengar satu bacaan yang bagus sekali. Practical. Dan khotbah pastornya juga kebetulan sangat mudah dipahami. Jadi pengen share. 🙂

    Seorang tuan kebun pagi-pagi benar keluar mencari pekerja untuk kebun anggurnya. Jika dibayangkan seperti film Ip Man atau Cinderella Man, para pekerja biasanya menunggu di satu tempat dimana tuan-tuan menunjuk siapa pekerja mereka untuk hari itu.

    Setelah ia sepakati dengan pekerja-pekerja itu bahwa upah sehari adalah 1 Dinar, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya.

    Setelah itu, sekitar jam sembilan pagi ia keluar lagi dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar.
    Ia bertanya kepada mereka dan kemudian berkata “Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu”.

    Dan merekapun pergi bekerja di kebun anggurnya.

    Ia melakukan hal yang sama di jam 12, jam 3, dan bahkan jam 5 sore.

    Di malam harinya, ia berkata kepada supervisor kebun: “Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu”.

    Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar.
    Kemudian datanglah mereka yang bekerja lebih pagi, mereka menduga bahwa mereka akan mendapat lebih banyak, tetapi merekapun menerima masing-masing satu dinar juga.

    Ketika mereka menerimanya, mereka agak mengoceh kepada tuan kebun, katanya: “Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari”.

    Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?”

    Wow. The kalimat terakhir ini sangat bagus dan membuat saya berpikir apakah saya melakukan hal yang sama tanpa disengaja, dan tanpa disadari.

    Kadang kita sudah menerima apa yang pantas bagi kita, tetapi kita kerap merasa tidak cukup karena orang lain mendapat lebih. Padahal apa yang kita terima adalah pantas dan cukup jika saja kita tidak membandingkan dengan orang lain.

    Kita menjadi merasa tidak adil, saat ada orang lain mendapat lebih, padahal apa yang kita dapatkan sebenarnya adil. Adil menurut manusia, tidak selalu sama dengan adil menurut Tuhan. Pertanyaan terakhir di cerita tadi, sungguh suatu pertanyaan yang bisa menjadi pengingat yang bagus.

  • Power 2017

    In 2008, I officially started SSCX with 3 partners to help companies achieving operational excellence. Lean Six Sigma was a new concept back then. As a “process person”, improving business through business process improvement is something I enjoy. Every single day in my client site was an adventure!

    I did enjoyed every engagement with my clients, hopefully they were too! One of the most exciting engagement is Bank Mandiri Lean Six Sigma initiative, with more than 100 projects including reducing loan process lead time, increasing call center service level, and even cutting new account opening lead time. It was so exciting when one of the projects was awarded best Lean Six Sigma project in Asia that year. I was so happy, like I am a Mandirian. 🙂

    In 2011, SSCX published the first edition of Shift Indonesia (you can check it out here). Shift is Indonesia’s first operational management magazine. Kudos to Yudha Satya, for believing in Shift and made things happen!
    Today, Shift works with brands to help them reach operational improvement stakeholders.
    The magazines are available for free in digital format and priced at IDR 40,000 for company subscriptions.

    In 2012, we did something never been done before: Indonesia’s first Operational Excellence Conference and Award. We named it Opexcon12. Today, Opexcon featured high profile speakers including economist Faisal Basri, Deputy Minister of Indutry, then-CEO of Trans Jakarta, CEO of Federal Oil, and many more. And this year, Opexcon17 will have Title Sponsor!

    Kudos to Reiko and Riyantono who have worked the hardest for this!

    We build the company project by project, training by training. I remember how we hired our first consultant, our first account executive. I vividly remember how we then afford to rent a 30 sqm office with 6 tables.

    Today, SSCX is working with companies in Indonesia and Malaysia, helping companies in a mining site in Tanjung Enim, concentrating facility in Papua, bank in Jakarta, manufacturing facilities in Karawang, and even a bird park in Bali. Yes, bird park 🙂

    From a solo consultant, now SSCX has a handful of leaders to continue the journey. I have resigned from the company as director this January and will pursue something else. I am confident that the new leadership will be able to take SSCX to another level.

    Starting January 2017, I will have 150% of my time and energy to build Sleekr. It’s still at early stage. But, I am very confident of Sleekr’s potential to help small and medium businesses in Indonesia. Sleekr will enable more companies to have affordable business operating system. We are starting the initiative with Human Resources and Accounting. I will write more on this.

  • Makna Sebuah Titipan (WS Rendra)

    Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
    bahwa:

    sesungguhnya ini hanya titipan,
    bahwa mobilku hanya titipan Allah
    bahwa rumahku hanya titipan Nya,
    bahwa hartaku hanya titipan Nya,
    bahwa putraku hanya titipan Nya,

    tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya,
    mengapa Dia menitipkan padaku?
    Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
    Dan kalau bukan milikku,
    apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?

    Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
    Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu
    diminta kembali oleh-Nya?

    Ketika diminta kembali,
    kusebut itu sebagai musibah
    kusebut itu sebagai ujian,
    kusebut itu sebagai petaka,
    kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan
    bahwa itu adalah derita.

    Ketika aku berdoa,
    kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
    aku ingin lebih banyak harta,
    ingin lebih banyak mobil,
    lebih banyak popularitas,
    dan kutolak sakit,
    kutolak kemiskinan,
    seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

    Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti
    matematika:
    aku rajin beribadah,
    maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
    dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
    Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
    dan bukan kekasih.
    Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
    dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

    Gusti, padahal tiap hari kuucapkan,
    hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…

    “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

    WS Rendra

  • The Croods, Plato’s Cave, and Your Own Cave

    Guy: I can’t believe your family has never seen rain!
    Eep: We don’t get out much.

    Sudah lama dengar tentang The Croods, tapi baru libur Lebaran ini nonton. Menurut saya, ini adalah salah satu film animasi bagus. Selain cerita dan pesannya bagus (kalau mau melihat metafora yang dipakai), juga adegan-adegan lucu, dan tentunya kualitas animasinya. Saya tidak ingat apakah film ini pernah diputar di bioskop di Indonesia atau tidak.

    Pengisi suara The Croods tidak sembarangan: Nicholas Cage, Emma Stone, Ryan Reynolds. Ini pertama kalinya bagi Cage, Stone, dan Reynolds untuk jadi pengisi suara di animasi. Salah satu quote yang paling menarik yang saya dengar di The Croods adalah saat Eep (putri dari Grug) marah ke Grug yang merasa sudah berhasil membuat mereka bertahan hidup. “That was not living. That’s just not dying!”, saat Grug meminta mereka semua masuk ke gua karena adanya ancaman baru. Herannya quote ini tidak ada di IMDB.

    The Croods

    Okay, silakan baca trivia dan quote di sini. Gara-gara baca trivia pertama bahwa film ini punya banyak kesamaan dengan salah satu karya Plato – The Allegory of The Cave, jadinya malah sekarang lagi coba bacain apa sih isi The Allegory of The Cave. Postingan kali ini tidak akan banyak membahas konten The Croods, tapi tentang The Cave-nya Plato. Tulisannya sebenarnya pendek: baca disini. 

    Tapi, ternyata memahaminya tidak gampang. Terlebih kontennya adalah tentang bagaimana manusia cenderung untuk memahami pada apa yang kita lihat dan dengar di dunia – bukti empiris. Dalam cerita tersebut, the cave alias gua menunjukkan bahwa orang yang percaya pengetahuan empiris terjebak dalam ‘gua’ kesalahpahaman.

    Ringkasnya, cerita The Cave-nya Plato bercerita tentang sekelompok orang yang ditahan dari lahir di dalam sebuah gua. Leher dan kepala mereka dikunci sedemikian rupa sehingga hanya bisa melihat ke satu tembok. Di sana, mereka hanya bisa melihat bayangan dari objek yang ada di luar gua atau yang sengaja diproyeksikan ke satu-satunya tembok yang bisa mereka lihat. Seumur hidup, mereka hanya melihat bayangan tersebut dan tidak pernah melihat benda asli. Akhirnya, mereka membayangkan dunia hanyalah bayangan-bayangan tersebut.

    Nah, bayangan ini mewakili persepsi dari mereka yang percaya bahwa bukti empiris adalah bukti dari sebuah pengetahuan. Jika Anda yakin bahwa apa yang Anda lihat harus diambil sebagai kebenaran, maka Anda hanya melihat bayangan kebenaran. Berat ya? 🙂

    Diceritakan lebih lanjut, salah seorang tahanan ini kemudian lolos dan meninggalkan gua. Dia terkejut pada dunia di luar gua dan tidak percaya bahwa apa yang dia lihat adalah nyata. Setelah sekian lama, ia menjadi terbiasa dengan lingkungan barunya, ia menyadari bahwa pandangannya selama di gua tentang realitas adalah salah.

    The Croods memang menggunakan gua sebagai gambaran bagaimana keluarga Grug Croods ini merasa bahwa paling aman di gua dan memilih tidak ke mana-mana karena khawatir akan dunia di luar gua. Bukankah kadang kita juga demikian? Kita juga tinggal di gua kita masing-masing. Apa yang kita lihat sebagai kebenaran adalah sama dengan apa yang diproyeksikan kepada kita.

    Mungkin sudah waktunya kita seperti Eep yang ngotot untuk mencari tempat bernama Tomorrow.

    Thunk: Where did she fly?
    Guy: Tomorrow.
    Eep: Tomorrow?
    Guy: A place with more suns in the sky than you can count.
    Thunk: It would be so bright!
    Guy: A place not like today, or yesterday. A place where things are better.
    Grug: Tomorrow isn’t a place. It’s-it’s-it… Ugh! You can’t see it!
    Guy: Oh, yes, yes it is. I’ve seen it. That’s where I’m going.

  • Dua Pedagang Pembohong

    Kata orang-orang, paling mudah mengajarkan suatu lesson itu kalau kita bisa mengemasnya dalam bentuk cerita, alias story telling. Ada benarnya. Biasanya ada ceramah itu paling bosan kalau tidak ada cerita menarik. Dulu pernah ada yang cerita, tentang tidak ada untungnya membohongi pelanggan. Waktu itu sampai ada 2 cerita. Cerita ini mungkin sudah saya dengar 10 tahun lalu, tapi masih nempel di kepala.

    Cerita pertama tentang satu orang pedagang ayam. Hari sudah sore, tapi ayam yang sisa seekor ini kok ngga laku-laku. Tiba-tiba datang seorang ibu menanyakan ayam, si pedagang ini senang bukan kepalang.
    “Bang, ayamnya donk. Bagus ga?”
    “Ooo, bagus sekali ini, Bu, coba lihat gemuk kan?”
    “Wah, ada yang lain ngga?”
    “Ada!”, sambil memasukkan kembali ayam ke keranjang yang tertutup, kemudian mengeluarkan ayam yang sama.
    “Ini, Bu, lebih gemuk sih kalau yang ini.”
    “Iya, kalau gitu, saya ambil dua-duanya ya, Bang.”

    Cerita kedua tidak kalah telak, ceritanya si pedagang spesialis ikan bawal lagi sepi. Es batu untuk menjaga kesegaran ikannya juga sudah hampir mencair semua. Kemudian datanglah seorang ibu, “Ini ikan gurami bukan, Bang?”. Tanya si ibu yang sepertinya jarang ke pasar.
    Si abang senang juga ditanyain calon pembeli, “Iya, Bu, ini gurami, segar semua!”.
    Si ibu kemudian berkata, “Yahhh, saya lagi cari bawal…”

    See? Mudah-mudahan 2 cerita ini nempel di kepala Anda juga, the lesson is do not trick your customers. Never.